BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Daerah
istimewa yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan nama jogja,merupakan kota
yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya.
Yogyakarta merupakan pusat kerajaan mataram,dan sampai saat ini masih ada keraton yang masih berfungsi dalam arti sesungguhnya.malioboro yang merupakan urat nadi jogja dibanjiri barang-barang kerajinana dari segenap penjuru.para pengayuh becakpun siap mengantarkan kita mengelilingi tempat-tempat pariwisata.Tak ayal bila kota jogja sangat terkenal dan merupakan salah satu tujuan utama para wisatawan mancanegara,untuk berlibur dan mengabiskan sisa waktu istirahatnya di jogja.
Yogyakarta merupakan pusat kerajaan mataram,dan sampai saat ini masih ada keraton yang masih berfungsi dalam arti sesungguhnya.malioboro yang merupakan urat nadi jogja dibanjiri barang-barang kerajinana dari segenap penjuru.para pengayuh becakpun siap mengantarkan kita mengelilingi tempat-tempat pariwisata.Tak ayal bila kota jogja sangat terkenal dan merupakan salah satu tujuan utama para wisatawan mancanegara,untuk berlibur dan mengabiskan sisa waktu istirahatnya di jogja.
B. Tujuan Kunjungan
Tujuannya adalah untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di sekolah,mengetahui tempat-tempat wisata yang ada di jogja, dan
dapat mengetahui seluk beluk tempat-tempat wisata yang ada di jogja.
C. Manfaat
Kunjungan
Manfaat dari kunjungan ke jogja
sangat banyak antara lain :
1.
menambah ilmu pengetahuan, wawasan yang umum dan luas.
2.
mengetahui asal usul dari keraton jogjakarta.
3.
mempererat keakraban dengan teman satu sekolah.
4.
kebersamaan yang sangat erat dan kerjasama antar kelompok.
Dengan demikian diselenggarakannya
kunjungan ke jogja sangat bermanfaat.
BAB
II
Laporan
Hasil Kunjungan Ke Keraton Yogyakarata
Keraton yogyakarta
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut
secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat
tinggal sultan dan rumah tangga istananya
yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini
juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks
keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi
milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika
pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan
lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa
bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas
sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura
dan Surakarta) yang akan dimakamkan diImogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan,
yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang
sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten sleman.
Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan
Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
1.Tata ruang
dan arsitektur umum
Arsitek
kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana
I,
pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya
dalam bidang arsitektur dihargai
oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda – Dr.
Pigeund dan Dr. Adam yang menganggapnya sebagai “arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta. Bangunan
pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape
kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di
tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang
tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang
dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta
tahun1921-1939).
1.1.Tata
ruang
Dahulu bagian utama istana, dari
utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung
Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke
selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan
Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks
Siti Hinggil Ler,Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks
Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti
Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul
(Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan
keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah
Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks
Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di
nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan
yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut
ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih,
Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar
Beringharjo.
1.2.Arsitektur
umum
Secara umum
tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai
selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu.
Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan
dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu .
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap
gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebutRenteng atau Baturono.
Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih
terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu
terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya
berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo
terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding
dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap
bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini
beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium.
Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna
merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut
dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta
tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau
hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang
lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna
senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur
Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari
kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif
Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu
dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun
dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau
dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada
bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan
tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat
menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap
bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan
jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh
Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan
indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka
ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain
ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau
keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
2.Kompleks
depan
2.1.Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke
dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan
Gapura Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya.
Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis. Pada zamannya konon Pangurakan
merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota
bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan.
Versi
lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi,
dan Gapura Pangurakan Lebet. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara
Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini
sudah tidak ada. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang
sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari
utara.Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan
yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya
adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri. Selepas dari Gapura
Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Lor.
2.2.Alun-alun
Lor
Alun-alun Lor adalah sebuah
lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang
berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi.
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan.
Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di
bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus
benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat
sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin
Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama
Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalahPepatih
Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang
dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan
“Tapa Pepe”saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan
pemerintah. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan
segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti
Hinggil.
Di
sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat
pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para
Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak
yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat
bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada
zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan
upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara
garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng,
dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang
juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar,
tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak
bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
2.3.Mesjid
Gedhe Kasultana
Kompleks
Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta
terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut
dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang
tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk
berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga.
Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi
dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari
kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah
bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.
Pada
zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi
masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat
lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid.Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon
tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara
bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan
Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan
Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan
Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Lor digunakan untuk menempatkan
gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan
Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan
Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam
upacara Jejak Botol.pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu
terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di
sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
3.Kompleks inti
3.1.Kompleks
Pagelaran
Bangunan
utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan
nama Tratag Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para
punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering
digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk
upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di
sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh
Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak
tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para
panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor
kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba.
Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan
prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang
terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan
oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini
dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks
Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak
Sumur.
3.2.Siti
Hinggil Ler
Di
selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil
secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan.
Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah
Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua
jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan
Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus;
famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara
Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan
oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro sampai
sekitar tahun 1926. Pacikeran
barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus.
Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang
utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para
pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur
laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat
ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori danabdi-Dalem Jaksa yang
fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak
ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka
yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan
duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti
pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarnodilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal
Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang
lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini
digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada
saat acara resmi kerajaan.
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag
Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale
Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada
zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.
3.3.Kamandhungan
Lor
Di selatan
Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan
lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol
Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan.
Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang
ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu
dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi
timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke
jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena
di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal
Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama
di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812)
bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati
dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan
digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga
kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan
sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan
para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana.
Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat
ini.
3.4.Sri
Manganti
Kompleks
Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat
hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal
Sri Mangantiyang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima
tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka
keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk
penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang
berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat
mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan
tempat ini menjadi balai pengadilan. Tempat ini digunakan untuk menempatkan
beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah
runtuh pada27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang
DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama
akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua
pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan
berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng
Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini
terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit,
bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.
3.5.Kedhaton
Di sisi
selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang
menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca
raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah
timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat
pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang
kerajaan, Praja Cihna.
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya.
Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki;
famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi
tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran
Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang
merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir
adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks
ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari
bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden
Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di
tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping
untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag
Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah
barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang
menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari
Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal
Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia)
lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso
berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan
tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan
yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat
yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan
Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah timur
laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam
keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan
menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di
sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal
Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai
tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk
membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro. Bangunan lain di
bagian ini adalah Bangsal Kotak, Bangsal Mandalasana, Gedhong
Patehan[, Gedhong Danartapura,Gedhong Siliran, Gedhong
Sarangbaya, Gedhong Gangsa, dan lain sebagainya. Di tempat ini
pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai
museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk
beribada pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini
merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada
zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah.
Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong
Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini
sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara
Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai
oleh Sultan.
3.6.Kamagangan
Di sisi
selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang
menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu
penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular
yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Di sisi selatannya pun
terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang
sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon
pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel
kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang
terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi
ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul
Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada
di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan
nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti
Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gununganpada
saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat
gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan
Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang
menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati.
Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi
kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat
dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga
kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung
ke Taman Sari.
3.7.Kamandhungan
Kidul
Di
ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah
gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan
kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki
ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks
Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal
ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangkadi
daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas
saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah
gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari
kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul
terdapat jalan yang disebut denganPamengkang.
3.8.Siti
Hinggil Kidul
Arti dari
Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil :
tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana
Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas
kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah
pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di
sekitarnya.
Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil
yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap
hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian
dipugar pada 1956menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi
Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk
menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara
Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan
untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula
menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat
ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni
pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.
4.Kompleks belakang
4.Kompleks belakang
4.1.Alun-alun
Kidul
Alun-alun
Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran
berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang).
Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di
belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki
lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat
masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat
terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik
Sultan.
Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera
indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp;
familiAnacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae).
Pohon beringin hanya terdapat dua
pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit
udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari
kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalanGading yang
menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
B.4.2.Plengkung
Nirbaya
Plengkung
Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB
I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan
dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini secara tradisi digunakan
sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk
alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang
bertahta.
5.Bagian lain
Keraton
5.1.Pracimosono
Kompleks Pracimosono merupakan
bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas
dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat
ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran
dan Siti Hinggil Lor.
5.2.Roto
Wijayan
Kompleks
Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta
kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks
Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih
disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan
resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda
Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh
wisatawan.
5.3.Kawasan
tertutup
Kompleks
Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton
tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini
tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah masjid yang digunakan
oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah
sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga
dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan. Lokasi ini
tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi
tempat kediaman resmi Sultan HB X dan
keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.
6.Warisan
budaya
Selain
memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian
sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah
upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan
Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus
dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari
klaim pihak asing.
6.1.Tumplak
Wajik
Upacara
tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari
beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang
digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat
pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar.
Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan
sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga
diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan
alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan
pareden.
6.2.Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan
tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua
belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan
tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan
berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan.
Sedekah
ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari
Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden
Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada
saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan
kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak
membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang
berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa
perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang
bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan
kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan
runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang
disebut Jodhang.
Gunungan
pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari
daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan
dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti
gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga
berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih
tumpul.
Kedua
gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu
yang berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena
secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang
dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan
dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2
buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid
Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung,
estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada
garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan,
gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud
diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan
satu pareden kutug.
6.3.Sekaten
Sekaten
merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon
asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan
sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut
cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain.
Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari
keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di
depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11
bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh)
secara bergantian menandai perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau
wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang
logam (koin).
Setelah
itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian
maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari
terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud.
Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk)
dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas
yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia
alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti
itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum
penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
6.4.Upacara
Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
Dalam
bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi
khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka
adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka
Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan
di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng
Prabayaksa dan bangsal Manis).
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta
memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.
Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan
maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara
ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks
Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis).
Upacara di lokasi ini tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga
kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di
kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat
adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan
pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya
dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta
yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian
ranting dan daunWaringin Sengker yang berada ditengah-tengah
lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat
ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua,
ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang
dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan LerengGunung Merapi. Di kedua
tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan
(pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di
lereng Gunung Merapi (Kabupaten
Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa
Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di
Pantai Parang Kusumo Kabupaten
Bantul dipimpin
oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian
diperebutkan oleh masyarakat. tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh
keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan
dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta
kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan
HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan
secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang
mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian
ranting dan daunWaringin Sengker yang berada ditengah-tengah
lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat
ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua,
ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang
dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan LerengGunung Merapi. Di kedua
tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan
(pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di
lereng Gunung Merapi (Kabupaten
Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa
Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di
Pantai Parang Kusumo Kabupaten
Bantul dipimpin
oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian
diperebutkan oleh masyarakat.
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
maka dapat disimpulkan bahwa
tempat-tempat pariwisata yang ada di jogja itu sangat banyak,dan kita harus
senantiasa menjaga serta merawatnya agar tetap asri seperti aslinya.agar
menarik para wisatawan untuk berlibur ke jogja.
Selain
itu,kota jogja yang menawan itu tidak harus kita tambahkan dengan budaya-budaya
barat yang kita rasa sangat bagus atau trend.tapi justru itu salah,kita harus
tetap menjaga budaya asli jogja itu sendiri agar mempunyai keaslian yang
khas dimata dunia.
Jogja
merupakan salah satu kota favorit para wisatawan untuk berlibur dan
menghabiskan sisa waktu istirahatnya di tempat-tempat wisata yang ada di
jogja.walaupun banyak cerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat
luas,para wisatawan tetap antusias menikmati tempat-tempat pariwisata yang ada
di jogja.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam
pembuatan karya tulis ini banyak ditemui kesulitan, oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik agar kami dapat menyempurnakan karya tulis ini.
Demikianlah
Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam pembuatan karya
tulis ini banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis sebagai
manusia biasa mohon maaf atas segala keurangan dan kekhilafan. Semoga karya
tulis ini
bermanfaat bagi kita semua.
bermanfaat bagi kita semua.
No comments:
Post a Comment